Entah kenapa mereka senang menelusuri masalah pendidikan yang ada di Indonesia. Karena jujur aku juga merasa tidak puas dengan pendidikan yang ada seperti sekarang ini. Seakan-akan semua ini, yang kita lakukan setiap hari hanyalah sebuah formalitas dan usaha mencari nilai di atas kertas semata. Mana mungkin bisa mencerdaskan bangsa seperti yang tertera di pembukaan UUD 1945? iya gak????
Apakah menjamin jika mendapatkan nilai 100 dalam mata pelajaran fisika misalnya, lalu dia bisa menjadi seorang ilmuwan? Atau penemu sesuatu? Bagaimana jika yang ia peroleh hanya hasil dari mencontek? Siapa tahu? Yang penting dapat nilai 100 kan? Atau jika dia jujur pun misalnya, bagaimana jika ternyata yang dia tahu hanya teoritis semata? Apakah nantinya setelah lulus dari dunia pendidikan lantas dia bisa mengaplikasikan seluruh nilai yang pernah dia peroleh dalam dunia kerja? Dalam kehidupan nyata?
Dulu saat kita masih duduk di sekolah dasar guru kita sering bertanya, mungkin sebuah pertanyaan dengan jawaban mati dan tidak boleh terganti. Walaupun pertanyaannya terdengar seperti meminta pendapat, yaitu
“Mengapa kalian sekolah anak-anak?”
dan seluruh anak dalam kelas pun akan menjawab,
“Untuk mencari ilmu, Bu Guru.”
“MENCARI ILMU” Pernahkah kita memikirkan kata-kata mencari ilmu ini lebih dalam? Mencari ilmu dalam arti yang seperti apa? Kita belajar keras hingga larut malam saat menjelang ulangan. Ataupun kita belajar sungguh-sungguh saat akan menempuh ujian nasional. Untuk apa semua usaha itu? Jika kita menjawabnya dengan jujur pasti untuk mendapatkan nilai yang bagus kan? Padahal setelah ujian berakhir dan setelah kita berhasil diterima di sekolah yang lebih tinggi misalnya. Kita sudah tidak peduli dengan ilmu-ilmu yang kita peroleh yang telah diujikan dalam ujian tersebut. Bahkan banyak kasus yang sampai mencari bocoran soal ujian nasional beserta jawabannya. Beginikah cerminan dunia pendidikan di Indonesia????
Pemerintah telah mencanangkan beberapa program untuk memajukan dunia pendidikan yang ada di Indonesia. Seperti wajib belajar 9 tahun, dan yang masih banyak diperdebatkan adalah Ujian Nasional. Memang, tujuan dari ujian nasional ini baik. Untuk memeratakan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia. Sehingga semuanya memiliki standar pendidikan yang sama. Dan memang lebih mudah jika mengorientasikannya dengan standar nilai.
Standar nilai kelulusan yang sama, namun fasilitas yang berbeda. Mungkin bagi siswa yang bersekolah di kota akan merasa tidak begitu menemui kesulitan dengan standar nilai yang ditetapkan oleh pemerintah. Karena mereka memiliki sekolah yang baik, tenaga pengajar yang berkualitas, dan semua hal yang serba memadai, bahkan dengan pelajaran tambahan seperti les dan sebagainya bisa terpenuhi dengan baik. Walaupun tidak menutup kemungkinan, semua juga tetap akan merasakan beban yang cukup tinggi saat mengikuti ujian dengan standar nilai seperti itu.
Namun, marilah kita tengok saudara-saudara kita yang berada di tempat yang cukup terpencil dan sulit dijangkau. Dengan bangunan sekolah yang sudah tidak layak, tenaga pengajar yang kurang jumlahnya, apalagi untuk memikirkan fasilitas-fasilitas yang lain. Mereka memiliki pembekalan ilmu yang berbeda, namun dituntut dengan standar hasil akhir yang sama. Adilkah?
Pernahkah berpikir bahwa pemerintah membuat semua program itu karena sudah tak tahu harus bagaimana lagi menciptakan generasi bangsa yang berkualitas. Tentunya melalui jalur pendidikan. Seperti yang sudah dipaparkan sebelumnya bahwa pendidikan merupakan hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa.
Namun seakan-akan pendidikan, ilmu, dan sekolah masih menjadi hal yang tabu bagi masyarakat Indonesia. Sebagian besar dari mereka hanya memikirkan bagaimana cara agar tetap bertahan hidup dan memiliki uang yang banyak. Dan setelah mengetahui bahwa banyak pekerjaan dengan penghasilan yang lumayan harus ditempuh dengan persyaratan ijazah pendidikan tertinggi, barulah berbondong-bondong menempuh dunia pendidikan dan mencari predikat sebaik mungkin agar mendapatkan posisi yang diinginkan. Namun sayangnya setelah berada dalam posisi tersebut, tidak semuanya mampu berkembang lebih baik. Sehingga seakan-akan roda pembangunan di Indonesia hanya berjalan di tempat saja. Semua itu tentu saja berawal dari orientasi yang salah.
Ambil contoh saja, seorang anak yang duduk di kelas XI IPA. Dan dia dituntut harus bisa menguasai semuanya. Mulai dari matematika, fisika, kimia, biologi, dll. Karena jika ada salah satu dari pelajaran eksak itu tidak tuntas, maka dia tidak akan naik kelas. Bagaimana jika ternyata dia memiliki kemampuan yang baik di bidang matematika. Namun, ternyata nilai biologinya tidak baik karena dia memang tidak punya kemampuan yang cukup baik untuk menghafal dan memahaminya. Namun tuntutan nilai membuatnya berusaha keras agar bisa menguasai pelajaran biologi. Padahal jika dia fokus pada matematika, mungkin justru dia bisa menjadi ahli matematika yang cukup bisa diandalkan.
Tenaga pengajar pun dengan predikatnya sebagai
“Pahlawan Tanpa Tanda Jasa” seharusnya mampu membimbing anak-anak didiknya untuk lebih baik. Namun masih ditemui tenaga pengajar yang sifatnya hanya memberikan materi kepada murid-muridnya saja. Yang ada dibenaknya hanyalah tugasnya sebagai untuk memberikan materi yang ada telah terselesaikan. Tidak peduli apakah peserta didiknya mampu menangkap semua informasi itu dan seminimal mungkin dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka atau tidak. Sehingga hanya terbentuk komunikasi satu arah karena guru hanya menyampaikan materi dan hanya sedikit kesempatan untuk muridnya bertanya atau mengeksplorasikan sejauh mana dia memahami materi tersebut. Sang guru hanya menuntut peserta didiknya mendapatkan nilai yang bagus saat ulangan nanti.
Bahkan kini lely menemui guru yang memberikan tugas hampir setiap kali pertemuan dengan semua ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi. Namun setelah bekerja keras mengerjakan dan menyerahkannya tepat waktu, tugas tersebut hanya dinilai dengan satu angka. Tanpa tahu bagian mana yang salah. Tanpa dibahas terlebih dahulu. Tanpa tahu bagaimana yang benar. Tiba-tiba saja ulangan dengan materi yang mengacu pada tugas-tugas sebelumnya. Padahal para peserta didik belum tahu bagaimana seharusnya yang benar. Semua berpikir bahwa yang telah ia kerjakan adalah benar karena memang tidak ada yang menyalahkan dan memberi tahu mana yang benar. Bahkan kesempatan untuk bertanya pun kecil. Karena jika ada anak yang bertanya, maka anak tersebut akan disudutkan sebelumnya. Ditanya berbagai hal. Dan tidak semua anak memiliki mental yang kuat untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan oleh guru tersebut. Karena dia ingin bertanya sebelumnya karena dia belum mengerti. Namun justru ditanya macam-macam mulai dari awal. Tidakkah akan tambah tidak mengerti? Jangankan untuk bertanya. Baru mengikuti kelas beliau beberapa pertemuan saja sudah memunculkan sebuah kesan yang cukup disegani di mata murid-muridnya. Lalu bagaumana murid-muridnya bisa berkembang?
Lagipula bukankah seharusnya kita yang ingin mencari ilmu? Bukankah kita yang membutuhkan ilmu itu? Bukan guru yang memiliki kebutuhan untuk memberi ilmu yang ia miliki kepada murid-muridnya. Bagaimana jika aku ingin tahu lebih banyak tentang Bahasa Inggris dan hanya ingin mengetahui sebagian kecil saja mengenai Bahasa Mandarin? Namun, waktu dan standar sudah ditentukan. Haruskah aku mengikuti pelajaran Bahasa Mandarin dengan terpaksa? Bukankah itu hanya membuang-buang waktu? Padahal jika mengikuti pelajaran Bahasa Inggris mungkin aku akan merasa lebih nyaman dan akan mendapatkan ilmu lebih banyak, karena mengikutinya dengan semangat tanpa keterpaksaan.
Teman-teman, marilah kita tinjau kembali apa sebenarnya yang salah dengan dunia pendidikan kita sehingga kita tertinggal jauh oleh negara-negara lain? Kalau menurutku sih kembali ke orientasi awal dari tujuan untuk memperoleh pendidikan itu sendiri. Bagaimana menurut kalian?