Sabtu, 25 Juli 2009

Hati-hati untuk yang sering masturbasi

. Sabtu, 25 Juli 2009
6 komentar

Semarang , 25 Juli 2009

Kebanyakan kita (ngaku saja) beranggapan masturbasi itu hal wajar, kebiasaan ''sehat'' dalam hidup. Tapi jika sudah berlebihan tetap saja tidak baik dilakukan. Yang jadi pertanyaan penting adalah, berapa kali masturbasi dikatakan berlebihan? Untuk Anda atau pasangan yang melakukannya beberapa kali dalam seminggu tak usah membaca artikel ini.

Yang perlu membaca adalah mereka yang melakukan servis swalayan beberapa kali dalam sehari, setiap hari!



Masturbasi berlebihan, bahkan menjadi pola kompulsif, dapat berdampak negatif pada ketidakseimbangan psikis dan fisik. Sejumlah pakar menyarankan agar para pria menjaga frekuensi ejakulasi mereka hanya menjadi beberapa kali dalam seminggu. Namun demikian bagi mereka yang aktif secara seksual, baik berhubungan intim dengan pasangan dan melakukan masturbasi juga, sehingga mengalami ejakulasi beberapa kali dalam sehari mungkin tak percaya saran tersebut.

Tapi percayalah, studi menunjukkan ejakulasi berlebihan itu tidak disarankan. Apa yang terjadi jika masturbasi dilakukan terlalu sering? Menurut pakar sex, masturbasi berlebihan dapat merangsang fungsi saraf
parasimpatik/acetylcholine.
Rangsangan berlebihan ini dapat memicu dihasilkannya hormon sex lebih banyak dan neurotransmiter seperti acetylcholine, dopamine dan serotonin yang menyebabkan perubahan kimia tubuh.

Efek samping dari perubahan kimia tubuh mengejawantah pada kelelahan, kerontokan rambut, kehilangan ingatan, penglihatan kabur serta sakit pada testikel. Masturbasi berlebihan menekan fungsi sistem saraf dan hati, yang akan menimbulkan kelelahan secara seksual (terutama pada para laki-laki muda). Hal ini termasuk terjadinya disfungsi ereksi atau impotensi pada pria sebelum usia matang mereka menjelang.

Kebocoran air mani, keluarnya sperma dari penis tanpa ereksi, digambarkan sebagai masalah umum lain yang dihubungkan dengan masturbasi berlebihan. Ih, seram. Ini menjadi pertanda bahwa saraf yang mengontrol katup ejakulasi melemah sebab terlalu sering digunakan dan mendapat rangsang berlebihan.
Hal ekstrim yang lain jika dihubungkan dengan masalah fisik, keinginan berlebihan melakukan masturbasi menyulitkan hubungan Anda dengan pekerjaan dan keluarga, seperti halnya kecanduan alkohol atau judi. Pokoknya asyik dengan diri sendiri dan abai dengan dunia sekelilingnya.

Bagaimana cara menghentikan masturbasi? Hal pertama yang harus dilakukan adalah mengurangi frekuensinya. bagi sebagian orang, ini adalah hal sulit dilakukan. Tapi bukan hal tidak mungkin jika ada tekad kuat kan?
Jika dari diri sendiri tak mampu, mintalah saran dari pakar sex, atau bergabung dalam ''klub'' yang memiliki masalah serupa dan ingin melepaskan diri dari jerat ''kecanduan'' masturbasi.

Anda dapat mendengarkan cerita mereka dan barangkali menemukan teknik mengurangi dorongan ''swalayan'' dari para teman senasib. Namun jika berbicara di klub tampak memalukan, datangi saja terapis sex. Tak usaha malu, para terapis itu sudah terbiasa menangani masalah ini. Anda bukan yang pertama, juga bukan yang terakhir.

maap kalo misalnya
no , yes




Klik disini untuk melanjutkan »»

Sabtu, 18 Juli 2009

Bukan Sebuah Epilog

. Sabtu, 18 Juli 2009
6 komentar


Semarang , 19 juli 2009

“Jika aku pulang duluan, bukan berarti kita tak bisa ketemu lagi, kan?” katamu. Tanpa rasa bersalah dan memang tak ada yang salah dengan kepergianmu.

Tanganmu masih dalam genggamanku. Aku masih enggan tuk melepaskannya, lebih tepatnya, aku tak ingin melepasnya. Jika bisa, aku ingin menahanmu tetap di sini, setidaknya sampai aku benar-benar siap kau tinggalkan. Aku tahu itu suatu hal yang tak mungkin.





Dalam aku menatap matamu. Bening yang selalu menggetarkan jiwa. Aku hanya bisa menatapnya saat ini, hanya saat ini. Tidak untuk 10 menit kemudian, setelah kau melewati pintu itu dan melambaikan tanganmu. Hingga waktu yang entah kapan, yang aku sendiri masih belum tau, kapan kita bisa bertemu kembali.

“Ambil semua kesempatan dan mimpi-mimpi yang terpampang di sini. Aku yakin kau tak akan menyia-nyiakannya,” katamu.

Aku tak menjawab atau berkomentar atas kata-katamu. Lidah ini terasa kelu. Sekelu hati yang enggan melepasmu.

“Aku pergi bukan dengan hati yang gembira ria.”

Kau mengacungkan kedua jari dari tangan kananmu, seolah meyakinkan aku bahwa kau pun sebenarnya enggan pergi. Memandang kearahku dengan senyum, yang aku tahu kau paksakan.

Kembali teringat akan masa setahun lalu, saat aku pertama mengenalmu. Tepatnya saat aku pertama mengenal tulisanmu. Saat aku membaca kisah kepenulisanmu dan aku terus mencari setiap jejak dari larik-larik katamu. Hingga aku turut tenggelam dalam duniamu. Dunia kata. Dunia yang hampir 10 tahun tak pernah kujamah.

Huruf demi huruf aku belajar mengeja. Merangkai kata yang mungkin akan mempertemukanku denganmu. Dan waktu benar-benar menepati janjinya. Kita bertemu, berkenalan dan kemudian berteman.

Entah, teman jenis yang mana aku ini? Yang selalu memberikan ledekan dan tak jarang pula merayu dengan sejuta kata gombal, yang aku tahu tak akan pernah mempan untukmu. Ya, hanya dengan itu, aku ingin sedekat mungkin mengenalmu.

“Banyak hal yang kutemui di sini yang akan lepas begitu saja,” kau berkata lagi.

Kali ini kau tak memandangku, tapi memandang ke arah pintu yang akan segera kau lewati.

“Aku akan merasakan kehilangan yang sama, kehilangan kebersamaan dengan kawan-kawan, dengan dirimu, kehilangan cerita-cerita yang sebenarnya hanya itu saja yang membuat aku merasa ada gunanya.”

Kau terus berkata dan berkata, seolah tau isi hatiku yang sebenarnya. Sementara aku masih terus diam membisu dari seribu bahasa yang tak mampu aku ucapkan. Kata-kata itu tercekat di kerongkongan. Tak mampu aku ungkapkan.

Masih kugenggam tanganmu. Erat. Meski tak ada daya yang tersisa.
Aku akan kehilangan, aku yakin kau pun tau itu. Kehilangan sosok yang telah membuat semangat hidupku tumbuh kembali, yang menggugah diriku dari tidur panjang yang dulu kulewati, dengan cerita yang menghitamkan hidupku. Aku tahu kau tak pernah mengetahui hal itu, karena aku memang tak pernah menceritakannya padamu, tak pernah mengatakan padamu, bahwa kau sangat berarti bagiku, setidaknya di setahun terakhir ini.
“Ya! Hanya cerita-cerita itu saja yang membuat aku merasa berarti bagi kawan-kawan disini.”

Ya, dan aku adalah satu bagian dari sekian banyak manusia yang merasakan arti dari cerita-cerita yang kau tuliskan. Bahkan kau pula yang membuatku terjerumus dalam larik-larik kata yang kini menenggelamkanku. Kau pula yang membuatku merasa berarti dengan larik-larik kata yang kumiliki, meski larik-larik kata kita berlainan kisah, berlainan cerita, bahkan berlainan arah.

Kau menatapku lagi. Menggenggam kembali tanganku, yang masih terus memegang tangan kirimu, dengan kedua telapak tanganmu. Jemarimu membelai. Seolah, ingin aku mengikhlaskan kepergianmu.

“Katanya, hanya gravitasi bumi saja yang tak akan berubah. Aku bukan gravitasi bumi. Aku harus menentukan jalanku sendiri, mencari jalur lain dalam hidupku. Tak mungkin aku akan selamanya di sini. Aku juga tahu kau pun akan melakukannya suatu saat nanti,” kau berusaha meyakinkanku.

Kuraih tubuhmu, tubuh kecilmu, dalam rengkuh dekapku. Airmata ini tak mampu tertahankan lagi. Erat aku memelukmu, setidaknya itu pelukan pertamaku, juga terakhirku, sejak aku mengenalmu dan kau meninggalkanku di sini. Sendiri, tanpa semangat yang dapat kutemukan dalam sosokmu.

“Aku…aku tahu kau akan berhasil meski tak di sini. Kesempatan yang kau miliki akan lebih luas di seberang sana. Aku yakin kau pun mampu. Bintang terang itu akan selalu mengiringi langkahmu,” aku berkata dengan lidahku yang kelu, dalam isak tangis yang tertahankan.

Kulepas rengkuhan kedua tanganku. Airmata itu tak ada disana, di matamu yang bening itu, tapi disini, tertahan dimataku yang kian terasa panas dan penuh.
Segera aku rengkuh pundakmu. Kubalikkan tubuhmu.

“Melangkahlah! Pergilah! Jangan lagi kau menoleh ke belakang. Jalanmu ada di depan sana. Di jalan yang terang itu, aku pasti akan menyusulmu.”

Kudorong tubuhmu melangkah kearah pintu itu. Aku hanya memandangi tubuhmu yang mininggalkanku.

“Tetaplah berkabar dengan tulisan, ya…” katamu, seraya kedua tangan kau lambaikan. Kau tak menoleh lagi. Dan pintu itu melenyapkan tubuhmu dari penglihatanku.

Airmataku menetes. Sebutir demi sebutir. Bukan! Ini bukan tangis kesedihan. Sumpah! Ini tangis bahagia, Kawan. Aku bahagia karena kau telah temukan kembali jalan terangmu, yang pasti didambakan oleh setiap kawan kita yang lain, yang kau tinggalkan di sini.

Aku tahu, satu per satu mereka juga akan meninggalkanku, meninggalkan kawan yang lain. Hingga pada gilirannya nanti, aku yang akan pergi meninggalkan. Juga dengan rasa yang sama seperti rasa yang kau miliki saat ini.

Ini bukan sebuah akhir perjalananmu, bukan pula akhir dari kisahku. Ini sebuah awal cerita baru untukmu, juga sebuah awal perjuangan baru untukku, perjuanganku tanpamu.


(Selamat jalan, Kawan. Selamat datang pula di dunia barumu. Aku yakin masih akan ada cerita yang lebih seru dari perjalananmu. Cerita yang akan menginspirasi manusia yang lain.)




Klik disini untuk melanjutkan »»

Kamis, 16 Juli 2009

Ilmu Itu di Perpustakaan, Bukan Kelas

. Kamis, 16 Juli 2009
5 komentar

Semarang , 16 Juli 2009

Sebuah persepsi yang sangat "jadul" bahwa guru adalah satu-satunya sumber pengetahuan. Bahkan, kelas tempat guru mengajar hanya sekadar tempat pembelajaran, karena pengajaran yang sesungguhnya justeru ada di perpustakaan.



Hal tersebut ditegaskan oleh Deputi Bidang Pengembangan Sumber Daya Perpustakaan Nasional Drs Supriyanto, M.Si, dalam sambutannya di lokakarya sehari Membangun Budaya Baca Sejak Lahir di Jakarta.



"Karena itu jangan heran jika banyak pejabat sekarang yang bergelar STIA atau Sekolah Tidak Ijazah Ada, karena banyak di antara mereka tidak suka membaca, sehingga minim pengetahuannya. Akibatnya, tak mungkin mereka bisa menulis karya ilmiah sebab tidak tahu referensi," ujar Supriyanto.

Supriyanto mengakui, sangat menyayangkan bahwa budaya minat baca di tengah masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Padahal, saat ini perpustakaan sudah sangat banyak, baik di tingkat Provinsi dan kotamadya, di sekolah atau universitas, sampai komunitas masyarakat atau warga. Alhasil, kata dia, yang kini perlu dilakukan adalah terus menggalakkan budaya minat baca sejak dini, mulai di tingkat keluarga, sekolah, hingga pemerintahan.

"Peradaban suatu bangsa dapat dilihat dari perhatian negaranya terhadap perpustakaan, dan untuk mencapai tujuan itu budaya minat baca harus ditularkan sejak dini," ujarnya.

Supriyanto menuturkan, bahwa untuk menghendaki keberhasilan pembudayaan minat baca tersebut harus melalui tiga jalur. Jalur pertama adalah keluarga.

"Tetapi syarat utamanya adalah harga buku harus murah," ujarnya.

Jalur kedua, lanjut Supriyanto, adalah jalur satuan pendidikan atau sekolah dan perguruan tinggi. Terkait hal ini, dia kembali menegaskan ihwal ruang kelas semata hanya tempat pembelajaran, sebab pengajaran sesungguhnya ada di dalam perpustakaan.

"Dan yang ketiga adalah jalur masyarakat, sehingga perpustakaan umum di komunitas-komunitas harus menjadi perhatian penting kalangan masyarakat dan pemerintah," ujar Supriyanto.

kompas

Klik disini untuk melanjutkan »»
 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com