Sabtu, 18 Juli 2009

Bukan Sebuah Epilog

. Sabtu, 18 Juli 2009


Semarang , 19 juli 2009

“Jika aku pulang duluan, bukan berarti kita tak bisa ketemu lagi, kan?” katamu. Tanpa rasa bersalah dan memang tak ada yang salah dengan kepergianmu.

Tanganmu masih dalam genggamanku. Aku masih enggan tuk melepaskannya, lebih tepatnya, aku tak ingin melepasnya. Jika bisa, aku ingin menahanmu tetap di sini, setidaknya sampai aku benar-benar siap kau tinggalkan. Aku tahu itu suatu hal yang tak mungkin.





Dalam aku menatap matamu. Bening yang selalu menggetarkan jiwa. Aku hanya bisa menatapnya saat ini, hanya saat ini. Tidak untuk 10 menit kemudian, setelah kau melewati pintu itu dan melambaikan tanganmu. Hingga waktu yang entah kapan, yang aku sendiri masih belum tau, kapan kita bisa bertemu kembali.

“Ambil semua kesempatan dan mimpi-mimpi yang terpampang di sini. Aku yakin kau tak akan menyia-nyiakannya,” katamu.

Aku tak menjawab atau berkomentar atas kata-katamu. Lidah ini terasa kelu. Sekelu hati yang enggan melepasmu.

“Aku pergi bukan dengan hati yang gembira ria.”

Kau mengacungkan kedua jari dari tangan kananmu, seolah meyakinkan aku bahwa kau pun sebenarnya enggan pergi. Memandang kearahku dengan senyum, yang aku tahu kau paksakan.

Kembali teringat akan masa setahun lalu, saat aku pertama mengenalmu. Tepatnya saat aku pertama mengenal tulisanmu. Saat aku membaca kisah kepenulisanmu dan aku terus mencari setiap jejak dari larik-larik katamu. Hingga aku turut tenggelam dalam duniamu. Dunia kata. Dunia yang hampir 10 tahun tak pernah kujamah.

Huruf demi huruf aku belajar mengeja. Merangkai kata yang mungkin akan mempertemukanku denganmu. Dan waktu benar-benar menepati janjinya. Kita bertemu, berkenalan dan kemudian berteman.

Entah, teman jenis yang mana aku ini? Yang selalu memberikan ledekan dan tak jarang pula merayu dengan sejuta kata gombal, yang aku tahu tak akan pernah mempan untukmu. Ya, hanya dengan itu, aku ingin sedekat mungkin mengenalmu.

“Banyak hal yang kutemui di sini yang akan lepas begitu saja,” kau berkata lagi.

Kali ini kau tak memandangku, tapi memandang ke arah pintu yang akan segera kau lewati.

“Aku akan merasakan kehilangan yang sama, kehilangan kebersamaan dengan kawan-kawan, dengan dirimu, kehilangan cerita-cerita yang sebenarnya hanya itu saja yang membuat aku merasa ada gunanya.”

Kau terus berkata dan berkata, seolah tau isi hatiku yang sebenarnya. Sementara aku masih terus diam membisu dari seribu bahasa yang tak mampu aku ucapkan. Kata-kata itu tercekat di kerongkongan. Tak mampu aku ungkapkan.

Masih kugenggam tanganmu. Erat. Meski tak ada daya yang tersisa.
Aku akan kehilangan, aku yakin kau pun tau itu. Kehilangan sosok yang telah membuat semangat hidupku tumbuh kembali, yang menggugah diriku dari tidur panjang yang dulu kulewati, dengan cerita yang menghitamkan hidupku. Aku tahu kau tak pernah mengetahui hal itu, karena aku memang tak pernah menceritakannya padamu, tak pernah mengatakan padamu, bahwa kau sangat berarti bagiku, setidaknya di setahun terakhir ini.
“Ya! Hanya cerita-cerita itu saja yang membuat aku merasa berarti bagi kawan-kawan disini.”

Ya, dan aku adalah satu bagian dari sekian banyak manusia yang merasakan arti dari cerita-cerita yang kau tuliskan. Bahkan kau pula yang membuatku terjerumus dalam larik-larik kata yang kini menenggelamkanku. Kau pula yang membuatku merasa berarti dengan larik-larik kata yang kumiliki, meski larik-larik kata kita berlainan kisah, berlainan cerita, bahkan berlainan arah.

Kau menatapku lagi. Menggenggam kembali tanganku, yang masih terus memegang tangan kirimu, dengan kedua telapak tanganmu. Jemarimu membelai. Seolah, ingin aku mengikhlaskan kepergianmu.

“Katanya, hanya gravitasi bumi saja yang tak akan berubah. Aku bukan gravitasi bumi. Aku harus menentukan jalanku sendiri, mencari jalur lain dalam hidupku. Tak mungkin aku akan selamanya di sini. Aku juga tahu kau pun akan melakukannya suatu saat nanti,” kau berusaha meyakinkanku.

Kuraih tubuhmu, tubuh kecilmu, dalam rengkuh dekapku. Airmata ini tak mampu tertahankan lagi. Erat aku memelukmu, setidaknya itu pelukan pertamaku, juga terakhirku, sejak aku mengenalmu dan kau meninggalkanku di sini. Sendiri, tanpa semangat yang dapat kutemukan dalam sosokmu.

“Aku…aku tahu kau akan berhasil meski tak di sini. Kesempatan yang kau miliki akan lebih luas di seberang sana. Aku yakin kau pun mampu. Bintang terang itu akan selalu mengiringi langkahmu,” aku berkata dengan lidahku yang kelu, dalam isak tangis yang tertahankan.

Kulepas rengkuhan kedua tanganku. Airmata itu tak ada disana, di matamu yang bening itu, tapi disini, tertahan dimataku yang kian terasa panas dan penuh.
Segera aku rengkuh pundakmu. Kubalikkan tubuhmu.

“Melangkahlah! Pergilah! Jangan lagi kau menoleh ke belakang. Jalanmu ada di depan sana. Di jalan yang terang itu, aku pasti akan menyusulmu.”

Kudorong tubuhmu melangkah kearah pintu itu. Aku hanya memandangi tubuhmu yang mininggalkanku.

“Tetaplah berkabar dengan tulisan, ya…” katamu, seraya kedua tangan kau lambaikan. Kau tak menoleh lagi. Dan pintu itu melenyapkan tubuhmu dari penglihatanku.

Airmataku menetes. Sebutir demi sebutir. Bukan! Ini bukan tangis kesedihan. Sumpah! Ini tangis bahagia, Kawan. Aku bahagia karena kau telah temukan kembali jalan terangmu, yang pasti didambakan oleh setiap kawan kita yang lain, yang kau tinggalkan di sini.

Aku tahu, satu per satu mereka juga akan meninggalkanku, meninggalkan kawan yang lain. Hingga pada gilirannya nanti, aku yang akan pergi meninggalkan. Juga dengan rasa yang sama seperti rasa yang kau miliki saat ini.

Ini bukan sebuah akhir perjalananmu, bukan pula akhir dari kisahku. Ini sebuah awal cerita baru untukmu, juga sebuah awal perjuangan baru untukku, perjuanganku tanpamu.


(Selamat jalan, Kawan. Selamat datang pula di dunia barumu. Aku yakin masih akan ada cerita yang lebih seru dari perjalananmu. Cerita yang akan menginspirasi manusia yang lain.)




6 komentar:

Unknown mengatakan...

ce-nya sapa tuh gan??? ;))

MOCHAMMAD FATHONNY LESSY mengatakan...

she is . . .

eha mengatakan...

Ikut hanyut dengan ceritanya. Gejolak rasanya jelas terekam dalam tulisan.

Nurlaili Fajriyah mengatakan...

...boleh ikut berkomentar..??

MOCHAMMAD FATHONNY LESSY mengatakan...

@ eha : wah makasiy . . . cuma tulisan sampah gitu og

@ lele : mongoh . . .

Nurlaili Fajriyah mengatakan...

...gag jadi ah... abis udah dibilang tulisan sampah chy... jadi gag mood nulis... :-(

:)) ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} :)] ~x( :-t b-( :-L x( =))

Posting Komentar

 
Namablogkamu is proudly powered by Blogger.com | Template by o-om.com